
Presiden Prabowo Subianto, melayat ke persemayaman almarhum Mayjen TNI (Purn) Eddie Marzuki Nalapraya, tokoh pencak silat, di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, pada Selasa 13 Mei 2025 sore. (Beritasatu/Ricki Putra Harahap)
Kepergian Eddie Marjuki Nalapraya: Lebih dari Sekadar Tokoh Silat
Jakarta, Bird.biz.id – Indonesia kehilangan bukan hanya seorang tokoh, tapi penjaga nilai. Mayor Jenderal TNI (Purn) Eddie Marjuki Nalapraya meninggal dunia pada Selasa, 13 Mei 2025, dalam usia 93 tahun. Nama beliau bukan hanya lekat di dunia pencak silat, tapi juga dalam sejarah panjang pelestarian budaya bangsa.
Dunia mengenalnya sebagai Bapak Pencak Silat Dunia. Tapi bagi mereka yang mengikuti jejaknya, Eddie adalah lebih dari itu—ia adalah penggerak, pemimpin, sekaligus simbol konsistensi di tengah zaman yang terus berubah.
Silat Sebagai Identitas, Bukan Sekadar Olahraga
Dalam pandangan Eddie, silat bukan sekadar bela diri. Ia adalah bahasa tubuh budaya, cermin kepribadian bangsa, dan media pendidikan karakter. Dari tangannya lahir konsep padepokan yang tak hanya melatih fisik, tapi juga mendidik hati.
Itulah mengapa ia habiskan dekade hidupnya memperjuangkan pengakuan pencak silat—hingga akhirnya masuk SEA Games, Asian Games, dan diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO. Sebuah kerja sunyi, tapi berdampak besar.
Negara Menghormati, Bangsa Mengingat
Pelayatannya tidak biasa. Presiden Prabowo Subianto datang langsung, memberi penghormatan terakhir. “Kita kehilangan pejuang,” ucapnya. Sebuah kalimat singkat, tapi dalam maknanya.
Kepergian Eddie menyisakan ruang kosong dalam dunia seni bela diri Indonesia. Namun, warisan yang ia tinggalkan justru membentuk fondasi kokoh bagi generasi pesilat masa depan.
Warisan Tak Tergantikan
Tidak banyak tokoh yang mampu menyatukan seni, militer, dan budaya dalam satu nafas. Eddie Marjuki melakukannya dengan tenang. Ia pernah menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta, seorang perwira militer, dan pada saat yang sama menjadi penjaga nilai-nilai leluhur melalui pencak silat.
Kini, dunia silat tak hanya berkabung. Ia merenung—tentang pentingnya semangat kebudayaan yang tidak lekang oleh zaman.
Eddie telah pergi, tapi semangatnya tetap hidup. Dalam setiap gerakan silat, dalam setiap anak muda yang belajar membela diri bukan untuk menyerang, tapi menjaga martabat.