Dari Jakarta ke Papua: Perjalanan Hakim Eko Aryanto di Tengah Sorotan Publik

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi menyatakan mutasi hakim Eko Aryanto ke Papua tidak terkait putusan atau vonis ringan Harvey Moeis, melainkan bagian dari penyegaran internal dan kebutuhan organisasi. (Istimewa)

Dari Jakarta ke Papua: Perjalanan Hakim Eko Aryanto di Tengah Sorotan Publik

Jakarta, Bird.biz.id  – Nama Eko Aryanto mendadak jadi perbincangan hangat. Bukan karena prestasi gemilang, melainkan vonis ringan yang dijatuhkannya kepada Harvey Moeis, terdakwa dalam kasus megakorupsi timah senilai Rp 300 triliun. Tak lama berselang, Eko dimutasi ke Pengadilan Tinggi Papua Barat—sebuah perpindahan yang menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Di tengah riuh kritik dan kecurigaan publik, Mahkamah Agung akhirnya angkat suara. Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Sobandi, mutasi Eko tak ada sangkut pautnya dengan putusan kontroversial tersebut.

“Dia lulus eksaminasi, dan Papua Barat memang membutuhkan hakim tinggi. Ini rotasi biasa, bukan karena perkara Harvey Moeis,” ujarnya, Selasa (13/5/2025).

Vonis yang Mengundang Tanda Tanya

Pada Maret 2025, Eko Aryanto mengetuai majelis yang menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 210 miliar. Jumlah itu dinilai terlalu kecil dibanding kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 300 triliun.

Alasan majelis? Salah satunya: sikap sopan terdakwa selama persidangan.

Tak heran bila masyarakat kecewa. Media sosial ramai. Pakar hukum angkat bicara. Komisi Yudisial bahkan menyatakan sedang menyelidiki kemungkinan pelanggaran etik. Sorotan tajam pun mengarah ke kursi hakim.

Perpindahan yang Dianggap Tak Biasa

Beberapa pekan setelah putusan, Eko dipindah ke PN Sidoarjo. Tak sampai sebulan, datang keputusan baru: ia dimutasi ke Papua Barat.

Bagi sebagian orang, dua mutasi dalam waktu singkat adalah hal yang janggal. Apalagi jika dibandingkan dengan kebiasaan rotasi hakim yang biasanya dilakukan setiap dua atau tiga tahun sekali.

Namun MA bersikukuh bahwa keputusan diambil dalam rapat pimpinan dan juga menyertakan 11 hakim lainnya yang turut dimutasi ke berbagai daerah.

Putusan Banding dan “Koreksi” Sistem

Menariknya, pada tahap banding, Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara. Putusan itu dianggap sebagian pihak sebagai bentuk koreksi atas vonis sebelumnya yang dinilai terlalu lunak.

Namun, apakah itu juga semacam pengakuan tak langsung bahwa ada yang keliru di tingkat pertama? Tak ada jawaban pasti. Yang jelas, publik masih menuntut transparansi.

Pergulatan Etik dan Persepsi

Kasus Eko Aryanto menunjukkan satu hal: persepsi publik terhadap keadilan bisa sangat kuat, bahkan ketika institusi bersikeras bahwa semua berjalan sesuai prosedur. Di tengah tekanan itu, seorang hakim bisa berpindah tugas ke wilayah yang jauh dari pusat—entah sebagai penyegaran, promosi, atau bentuk lain dari “pengamanan reputasi”.

Satu hal yang pasti: dari ruang sidang Jakarta hingga ke pengadilan tinggi di Papua Barat, nama Eko Aryanto kini terpatri dalam catatan panjang drama hukum Indonesia tahun ini.

Berita Terkait